Wartapacitan.com | SURABAYA – Pengamat politik Airlangga Pribadi menyindir manuver politik Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang terkesan lebih berkuasa atau determinan ketimbang Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Pak Luhut yang saya hormati terima kasih, inisiatif anda telah membuka kesadaran kami bahwa presiden yang kami pilih telah kalah dalam waktu yang lebih cepat dari yang kami perkirakan untuk membela kepentingan republik namun tegak berdiri di bawah bendera penjarahan bisnis-politik atas bumi air dan kekayaan alam kami," tulis Airlangga Pribadi dalam statusnya di facebook yang mendapat banyak respon dari para facebookers. Status ini tercatat 141 dibagikan oleh facebookers lainnya.
Menurut Airlangga Pribadi yang dosen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dari langkah Luhut itu dirinya merasa juga wajib berterima kasih kepada Gubernur DKI Ahok, karena sikap yang ia jalankan untuk membuldozer kepentingan dan hajat hidup kaum nelayan dan hak-hak hidup kaum miskin mengingatkan bahwa dia adalah manusia dan politisi biasa bukan manusia super (seperti yang didengung-dengungkankan para pembelanya sekarang untuk mentoleransi malpraktik kekuasaan).
"Manusia politisi biasa yang mengingatkan kita bukan saja pada politisi sipil tapi pejabat berseragam jenderal zaman Orde Baru yang menjadikan rakyat bukan sebagai tujuan pembangunan, tapi justru alat bahkan tumbal pembangunan," tegas Airlangga Pribadi yang baru saja mendapat gelar PhD dari Murdoch University Australia.
"Terima kasih Pak Luhut bahwa langkah anda menyadarkan kami semua bahwa bukan Nawa Cita dan Trisakti yang menjadi melodi yang indah tahun 2014 yang saat ini menjadi partitur orkestra yang dimainkan oleh pemerintah sekarang. Namun seperti zaman yang sudah2 modal, modal, modal dan kerja, kerja, kerja untuk menjadikan rakyat sebagai kuli yang tengah dimainkan oleh komposer Presiden Jokowi," tulisnya seperti dikutip dari bangsaonline.com.
Airlangga mengakhiri statusnya dengan pertanyaan menggelitik. "Satu lagi Pak Luhut saya mau tanya apakah sebenarnya kepanjangan NKRI. Saya dengar khabarnya sudah diganti menjadi Negara Komoditas Republik Indonesia. Atau memang selama ini makna Kesatuan yang selalu dijunjung itu maksudnya adalah Komoditas?
Eh maaf Pak Jenderal sebenarnya komposernya siapa sih Pak Jokowi atau anda? Maaf pak cuman nanya. Namun sekali lagi Terima kasih Pak Luhut, Terima kasih banyak!," katanya. (ma/rwp001)