Wartapacitan.com | NGADIROJO - Banyak bangunan peninggalan sejarah penyebaran agama Islam di negeri ini yang dipercaya keramat. Salah satunya adalah Masjid Nurul Huda yang berada di Desa Tanjupuro, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan.
Masjid ini dipercaya sebagai masjid "tiban". "Tiban" berarti jatuh atau ada secara tiba-tiba dan diyakini keramat. Nur Halim, pemangku masjid setempat, menceritakan asal-usul masjid ini cukup misterius.
Adalah Ki Ageng Bandung, orang kepercayaan Adipati Ponorogo, yang pertama kali menemukan bangunan cikal bakal masjid tersebut. Ki Ageng Bandung merupakan salah satu orang kepercayaan kerajaan yang membabat wilayah setempat yang waktu itu masih berupa hutan pada 1700-an hingga 1800-an.
Suatu hari Ki Ageng Bandung menjelajahi hutan di dekat Dusun Bandung. Baru sekitar tiga langkah berjalan, ia mendengar suara burung. Karena penasaran, dia mengikuti asal suara burung tersebut dengan menggunakan gethek atau alat untuk menyeberang yang terbuat dari bambu dengan menyusuri rawa hutan.
Akhirnya burung tersebut terlihat bertengger di dahan pohon tanjung kembar. Tepat di sebelah pohon tanjung kembar itu terdapat dua bangunan. Satu bangunan berbentuk rumah joglo dan satu bangunan lain adalah sebuah masjid kecil yang terbuat dari batu bata beratap ilalang.
Setelah masuk ke bangunan masjid yang sudah lama tidak terawat itu, dia menemukan selembar surat berbahasa Jawa kuno. Setelah dibaca, surat tersebut ditulis seseorang yang menamakan diri Sunan Geseng.
Isi surat berbunyi "Manawa alas iki wis babad sarta wis dadi desa reja, pandhapa iki dak cadangkake sapa kang dadi lurah. Lan masjid ing sakidul kulone iki dienggo panggonan mulang santri. Dene kang agawe pandhapa lan masjid iki aku, Sunan Geseng".
Jika diartikan, surat tersebut menjelaskan bahwa "Apabila hutan ini sudah dibabat dan menjadi desa yang makmur, pendapa ini aku tujukan untuk siapa yang akan menjadi kepala desa. Masjid di sebelah tenggara nanti digunakan untuk tempat belajar para santri. Yang membangun pendapa dan masjid aku, Sunan Geseng".
Di bangunan itu juga ditemukan sebuah kepek atau sejenis bungkusan kantong kecil dari kain yang tergantung. Setelah dibuka di dalamnya didapati jubah bergaris poleng beserta surban dan baju lengan panjang seperti baju koko untuk salat berwarna putih berbahan kain tenunan Jawa.
Sampai sekarang kepek dan peralatan lainnya masih tersimpan dalam kotak kayu yang dibungkus kain putih. Secara berkala, kain pembungkus itu diganti. "Saya tidak tahu apa isi kotak tersebut. Saya tidak berani membukanya," ungkap pria yang akrab disapa Gus Nur ini.
Ki Ageng Bandung sendiri sebenarnya bangsawan dari Padjajaran, Jawa Barat. Konon, kepergiannya dari tanah Priangan itu setelah kalah berebut kekuasaan menjadi adipati dengan sang adik. Setelah kalah dalam perang saudara, ia hijrah ke wilayah Kerajaan Pajang, Jawa Tengah dan sampai ke wilayah Ngadirojo, Pacitan bersama salah satu muridnya, Panji Sanjayarangin. Sebelumnya, dia mengabdi di Adipati Ponorogo.
Lokasi masjid tiban ini berada di hutan Lorok yang sekarang menjadi Kecamatan Ngadirojo. Di hutan ini, banyak terdapat sumber mata air yang sampai sekarang digunakan untuk pengairan sawah dan pemukiman warga. "Sebelum sampai di Lorok, Ki Ageng Bandung sempat membuka pemukiman di Desa Sangrahan, Kecamatan Kebonagung dan Desa Nglaran, Kecamatan Tulakan," jelas Nur.
Sepintas tak ada yang menonjol dari bangunan masjid yang dekat dengan perbatasan Kabupaten Pacitan dan Trenggalek. Pun demikian saat memasuki pelataran masjid. Tidak ada tanda kapan masjid itu dibangun. Diperkirakan masjid itu sudah dibangun ratusan tahun yang lalu.
Di ruang utama masjid tersebut berdiri kokoh empat buah tiang kayu berdiameter sekitar 20 sentimeter persegi. Potongan balok tiang kayu itu tampak masih kasar. "Mungkin waktu itu peralatan untuk membuatnya masih terbatas sehingga garapannya kasar," ujar Nur.
Di bagian langit-langit bangunan inti terdapat ukiran yang menerangkan silsilah keturunan Ki Ageng Bandung. Namun hingga kini, Nur sendiri tidak bisa menjelaskan maksud simbol tersebut.
Selama ratusan tahun berdiri, masjid tiban Nurul Huda baru tiga kali mengalami pemugaran dan renovasi. Pemugaran pertama dilakukan pada bagian atap. Daun-daunan yang berada di atap diganti dengan genting. "Kapan waktu dipugarnya saya kurang ingat. Tapi antara tahun 1975-1998," katanya.
Dinding bangunan yang awalnya dari batu bata mentah juga dibongkar dan direnovasi. Selama proses pemugaran banyak terjadi peristiwa aneh. Salah satunya, kelumpuhan yang diderita almarhum Mbah Dawud, ayah dari Nur, yang waktu itu jadi pemangku masjid.
Meski telah dibawa berobat ke dokter kala itu, penyakit lumpuhnya tak kunjung sembuh. Anehnya, secara tiba-tiba, kelumpuhan yang diderita Mbah Dawud sembuh dengan sendirinya seiring selesainya proses pemugaran masjid. Hal yang sama juga pernah dialami Nur saat pemugaran terakhir sekitar tahun 1998. "Saya juga pernah lumpuh dan sembuhnya juga setelah pemugaran selesai," tuturnya.
Ada beberapa pantangan yang harus diikuti warga ketika datang ke masjid ini khususnya bagi wanita yang sedang datang bulan. Jika dilanggar bisa berakibat fatal. Warga juga dilarang buang air kecil sembarangan di sekitar masjid.
Di dekat masjid juga terdapat sumber air yang kini dibangun sumur. Air di sumur ini dianggap bertuah untuk mengobati segala penyakit. Tidak hanya masyarakat lokal, warga dari luar Jawa juga kerapkali ziarah. "Pernah ada yang dari Sumatera datang hanya untuk mengambil air sumur masjid untuk mengobati penyakit," ucapnya.
Masjid keramat ini juga sering jadi jujukan pejabat pemerintah untuk ngalap berkah dan mohon doa. "Dulu saat Soeharto masih jadi presiden, ada beberapa pejabat yang datang ke sini," pungkas Nur tanpa mau menyebutkan identitas sang pejabat.
Sampai saat ini, masjid tetap digunakan warga untuk salat termasuk di bulan Ramadan. "Kalau waktu salat Jumat dan tarawih, masjid ini penuh. Tak hanya warga lokal, dari luar kota juga ada yang salat di sini," tandasnya. (RWP001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar