Tentang Pacitan, Kota Paling Selatan Di Jawa Timur


Jumat, 12 September 2008

Pacitan, Menunggu Partisipasi Masyarakat...

| Jumat, 12 September 2008
Ilustrasi
Wartapacitan.com | OPINI - BUKU pelajaran yang digunakan anak-anak itu tak hanya sudah lusuh, halaman-halamannya pun sudah terlepas dari lem yang menyatukannya menjadi sebuah buku. "Buku seperti inilah yang digunakan anak- anak kami," tutur Nurmala, salah seorang guru SD di Kecamatan Kebunagung.

Oleh karena itu, jangan bertanya konsep Depdiknas yang sejak lama menyatakan satu buku untuk satu murid (1:1), karena hal itu jarang terjadi di sana. Bahkan, pembagian buku gratis dari pemerintah selalu kurang. Sudah bagus kalau hanya kurang 10 buah dari kebutuhan, karena buku yang diterima sekolah ternyata hanya empat buah. Padahal, jumlah siswa di satu kelas tak kurang dari 25 anak.

"Terpaksa buku itu hanya untuk guru. Anak yang mampu beli sendiri, kalau tidak mampu ya mencatat," tambah Suli, guru di sekolah yang sama.

Sementara salah seorang Kepala Sekolah SD di Kecamatan Tulakan menyatakan, tak semua siswanya mampu membeli buku pelajaran sendiri. Paling-paling yang bisa membeli anak guru atau pegawai. "Di sini orangtua siswa sebagian besar petani atau perajin gerabah untuk alat rumah tangga," tuturnya.

MASALAH krusial dalam bidang pendidikan di Pacitan tak hanya soal buku pelajaran. Jumlah sekolah rusak juga sangat merisaukan. Untuk tingkat SD/madrasah ibtidaiyah (MI) dari 3.254 ruang kelas, 1.021 kelas rusak ringan dan 947 kelas rusak berat. Untuk tingkat SLTP/madrasah tsanawiyah (MTs) jauh lebih baik. Dari 679 ruang kelas, 102 rusak ringan dan hanya enam ruang kelas rusak berat. Di tingkat SLTA (SMA/SMK/madrasah aliyah, MA), dari 236 ruang kelas, yang rusak hanya 11 persen.

"Sekitar 70 persen sekolah rusak, jumlah guru juga kurang, tapi kami tak punya dana besar untuk merehab sekolah dan menggaji guru bantu," jelas salah seorang pegawai Dindik Pacitan.

Besar APBD Pacitan yang hanya Rp 260,5 miliar, Rp 13 miliar di antaranya berupa pendapatan asli daerah (PAD). Dana 20 persen itu sebagian besar habis untuk gaji guru dan tenaga kependidikan lain, serta dana pengganti iuran BP3 bagi siswa SD/MI negeri dan SLTP/MTs negeri di Pacitan.

Minimnya PAD, ditambah tiadanya perhatian kepada warga Pacitan, menjadikan daerah ini nyaris tak berkembang. Dari sisi geografis, Pacitan sejak dulu dikenal sebagai daerah gersang dan terpencil. Meski demikian, wilayah ini sebetulnya punya potensi besar di pertambangan dan pariwisata. Konon, selain bahan tambang mineral, sebagian tanah di Pacitan menyimpan potensi emas.

Akan tetapi, sampai sekarang potensi itu belum tergarap maksimal. Bahkan potensi pertambangan sama sekali belum tergarap. Akibatnya, dalam tempo 15 tahun terakhir kegiatan ekonomi tak berubah banyak. Orang muda dari Pacitan memilih keluar daerahnya untuk mencari penghidupan, tetapi tak banyak uang kembali ke daerah asal.

"Kami ingin mengejar ketinggalan dari daerah lain, tapi uang APBD yang kecil itu jadi rebutan banyak sektor," ucap Paijo dengan tatapan jauh ke depan.

Mengingat kemampuan pendanaan amat rendah, kini ia mencoba memperbaiki kondisi fasilitas pendidikan lewat gerakan partisipasi masyarakat. Caranya setiap desa (total desa di Pacitan 171 buah) menerima dana stimulan (ADD) sebesar Rp 75 juta untuk menggerakkan ekonomi dan mengurus sekolah. "Kami mengajak warga ikut bertanggung jawab atas keadaan sekolah di desanya,"

Kesadaran warga Pacitan di bidang pendidikan sebenarnya boleh dipuji. Tapi, itu belum cukup. Fasilitas belajar-mengajar dan mutu pendidikan juga harus mendapat perhatian. Untuk itu Pacitan perlu gedung sekolah yang kokoh, tersedia buku pelajaran layak pakai dalam jumlah cukup, fasilitas penunjang seperti perpustakaan, laboratorium. Dan, tentu saja, di bawah asuhan guru yang layak mengajar. (RWP001)

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar